Demokrasi La Roiba Fih

Demokrasi La Roiba Fih | KUMPULAN ARTIKEL CAK NUN



Emha Ainun Najib, yang biasa dipanggil Cak Nun ini akrab dengan gaya pembahasan yang satire. Seperti dalam Demokrasi La Roiba Fih-nya, buku setebal 282 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada 2009 silam ini membahas berbagai persoalan dengan gaya khas penulis, satire dan kadang juga sarkas. Judul buku merupakan salahsatu judul tulisan penulis dalam buku ini – yang tentu, menurut penulis adalah judul terbaik.

Selanjutnya, persoalan yang diulas Cak Nun seolah menawarkan prespektif baru yang jarang terjamah oleh kebanyakan orang, bahkan masalah yang terkesan serius bisa menjadi lucu. Namun, walaupun lucu, rasanya sulit untuk membantah logika penulis yang tertuang dalam tulisan-tulisannya.

Seperti ketika penulis membahas fungsi sepatu dalam konsep dunia modern – terkesan tema yang sederhana bahkan receh, namun setelah kita baca ternyata ada kerancuan berpikir orang modern terhadap fungsi dari sepatu.

Contoh lain bagaimana Cak Nun mengulik terhadap cara kerja demokrasi yang berkembang di masyarakat plural, di Indonesia misalnya. Hemat saya memandang demokrasi sebelum membaca buku ini adalah sebatas konsep, yang dangkal penerapannya adalah sebatas kelembagaan negara. Namun, ternyata penulis menyandangkan la roiba fih di demokrasinya.

Padahal, gelar tersebut awalnya hanya dipegang oleh alquran. Di sini, satire Cak Nun sangat kuat, perlu berpikir lama untuk menangkap maksud dari penulis. Dan mungkin, penulis juga berdoa dalam tulisannya tersebut. 

Selanjutnya, tulisan yang memberikan kesan kepada saya ketika penulis membandingkan fungsi sepatu di era lampau dengan konsep modern. Dulu, sejatinya esensi dari penggunaan sepatu adalah untuk melindungi kaki, namun seiring berkembangnya zaman esensi sepatu berubah – menjadi tolak ukur status sosial pemakainya.

Misalnya, fungsi sepatu di era modern ini dipakai oleh orang-orang yang berjalan di lantai yang bersih dan berkarpet merah. Tentu fungsi sepatu sejatinya telah tiada, pasalnya, orang yang berjalan di lantai bersih nan berkarpet merah tadi akan baik-baik saja walaupun tidak bersepatu.

Lalu, yang menganjal hati saya seperti ini, jika konsep orang modern yang mengedepankan tata krama simbolik katanya, masuk istana negara harus memakai sepatu agar dikatakan orang yang memiliki tata krama – sedang masuk masjid kaki harus bersih dan suci, tanpa sepatu tentunya. Saya bertanya-tanya, konsep era mana yang kucluk sebenarnya.

Syahdan, terinspirasi dari gaya pembahasan penulis, saya tertarik untuk membahas tentang konsep pendidikan di era modern, karena memang penulis tidak menyoal ihwal konsep pendidikan di buku ini. Selain itu memang karena ada keresahan di hati saya, alasan kuat orang harus menempuh pendidikan yang terkapitalisasikan. Walaupun keresahan ini timbul ketika saya sudah terjebak di dunia pendidikan era modern ini yang kurang meyakinkan.

Saya terbesit mulai dari pertanyaan ”apa memang benar kuliah itu penting?” Lalu, jika kuliah itu penting lantas mengapa tidak keseluruhan dari kita dapat merasakan bangku pendidikan? Dan bagaimana skema beasiswa dari pemerintah yang kita sebut bidikmisi berjalan? Dan terakhir mengapa pendidikan perlu di komersialisasikan?

Baik, saya adalah mahasiswa semester satu Fakultas Hukum di kampus yang tidak terlalu tenar, Universitas Trunojoyo Madura (UTM) tepatnya. Setelah hampir melewati satu semester ini, saya masih terjebak dengan pertanyaan kuliah saya ini untuk apa kedepannya. Apalagi saat masuk ke dunia perkuliahan ini saya banyak menemukan mahasiswa yang berpikir praktis saja, jelasnya berpikir secara kalkulasi untung dan rugi saja.

Seperti kebanyakan alasan mahasiswa mengikuti seminar karena gratis dan mendapatkan sertifikat, perihal ilmu yang didapat saat seminar lain cerita. Sejujurnya tidak sepenuhnya menyalahkan mahasiswa tadi, karena memang kampus sendiri mengukur tolak ukur kompetensi mahasiswa dari seberapa banyak mahasiswa memiliki sertifikat.

Baca: Mimisme

Seolah sertifikat adalah bukti otentik mahasiswa yang berkompetensi, padahal tidak juga. Di lain sisi, kadang mahasiswa juga harus berpikir secara praktis dan realis, untuk menunjang akademik mereka di kampus yang lebih disibukkan dengan urusan administrative, seperti sertifikat dan omong kosong lainnya. Padahal, tidak ada jaminan bahwa mahasiswa yang memiliki sertifikat dari seminar tertentu paham, kebanyakan tidur, main gadget, dan ngobrol sendiri dengan teman sejawatnya.

Lalu, darimana mereka bisa paham? Payah.
Kembali pada keresahan saya, memang apa pentingnya kuliah? Menjadi penting karena tuntutan zaman modern telah bergeser menjadi kompetisi yang nilai dasarnya adalah bukti riil berupa sertifikat tadi, artinya adalah mahasiswa terdoktrin membutuhkan sertifikat untuk memenuhi syarat administratif yang makin ketat.

Lebih lanjut, ada pola orientasi mereka yang berkuliah adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak setelah lulus, dengan harus memikirkan daya saing yang semakin ketat setiap harinya. Lalu, jika korporasi dominan melihat bukti mahasiswa yang melamar kerja dari seberapa banyak sertifikat yang dimiliki, maka tidak salah mahasiswa sekarang bersaing mendapatkan banyak sertifikat – ah, masalah ilmu belakangan.

Realitas lain seperti ini, yang juga terjadi pada saya, adalah tuntutan orang tua - bahwa kuliah menjadi penting karena orang tua berharap anaknya menjadi bagian dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan pekerjaan lain yang berbau ke-negeri-an. Tentu, tidak menafikkan bahwa orang tua kita juga ikut berperan aktif dalam pergeseran esensi dalam dunia pendidikan. Ya, kan?

Beranjak dari teknis perkuliahan, dalam dunia kuliah kita kenal dengan istilah bidikmisi. Kebetulan, saya sendiri adalah penerima subsidi beasiswa dari pemerintah, yang sebenarnya adalah dari rakyat.

Dalam sebulan saya menerima uang sebesar tujuh ratus ribu, walaupun dalam pengelolaan keuangan, jujur saya sendiri masih rancu. Jelasnya, masih kurang, karena ada hubungan mutualisme antara saya dengan rokok misalnya. Walaupun, saya sadar ini adalah pembenaran semata.

Perihal skema yang dilakukan oleh pemerintah dalam membagikan atau penyeleksian penerima bidikmisi, menurut saya masih kurang efektif. Misalnya, pernah saya secara tidak sengaja bertemu dengan seorang surveyor bidikmisi beberapa bulan lalu di sebuah warung pingir jalan daerah Surabaya.

Alkisah, berawal dari basa-basi saya dengan surveyor tadi ada pembahasan terkait permainan bidikmisi, walaupun pihaknya sudah saya beritahu bahwa saya juga termasuk penerima subsidi dari pemerintah.

Lelaki surveyor yang belum menikah tersebut mengatakan pada saya bahwa, suap agar lolos suvei penerima bantuan dari pemerintah sering terjadi. Sedikit pemakluman, tim survei juga manusia, yang mudah disuap, dan akan goyah imannya ketika melihat sejumlah uang.

Lebih jauh, dari cerita diatas mungkin menjadi alasan kuat kenapa bidikmisi sering tidak tepat sasaran. Mungkin, di lain sisi memang tidak tepat sasaran bidikmisi sudah kehendak gusti – agar tidak terlalu bergantung pada negara, terus bekerja keras, dan konsisten bersujud kepada gusti tentunya.

Lalu kembali ke pernyataan jika kuliah memang penting, bagaimana menjawab kenapa semua tidak bisa menikmati pendidikan dan alasan pendidikan perlu dikomersialkan?


Posting Komentar

0 Komentar