Semi Estetika Orang-orang di Persimpangan


Ikan
Ilustrasi : Pixabay.com

Orang-orang di persimpangan selalu saja membuat hati saya tertarik. Bagaimana tidak. Mereka tetap saja bersila selama sepanjang malam demi hal yang tidak jelas. Jika kata Chandra Malik apa menariknya mencari sesuatu yang sudah pasti? Tidak ada hal baru yang saya temui dalam sehari ini.
Memang semua telah tercemar oleh industrialisasi dan memang era menuntutnya seperti itu. Jika orang-orang persimpangan masa lalu masih hidup tentunya banyak karya-karya yang tidak sembarang berkeliaran di beranda. 
Saat kapal sedang melaju setelah bertender cukup lama, telingaku kembali mendengar beberapa hal dari nyanyian bisu kapal yang kutumpangi. Bunyi yang harmonis. Tidak lebih dan tidak kurang. Betapa romantisnya gusti memberi saya momen yang saat itu saya rasakan.
Tentunya semua orang pasti pernah mengalami dalam beberapa kali dalam setahun atau jika setiap hari mendapatkan momen yang saya sebutkan sebelumnya betapa indahnya sekaligus menjadi beban yang tidak ringan.
Belakangan saya tertarik pada hal-hal yang kebanyakkan teman sebayaku mengatakan itu sudah kuno dan tidak relevan lagi untuk dibicarakan di warung kopi. Apalagi di tengah krisis nasional saat ini. Saya hanya mafhum dan kembali menghisap rokok diantara jemari saya.
Hari ini kita dibuat mafhum oleh banyak hal dan dipaksa belajar tentang banyak hal pula. Sisi positifnya adalah kita mendapatkan ilmu yang mungkin saja bermanfaat di masa yang akan datang. Tapi dengan melontarkan perkataan yang seperti itu saya menjadi teringat pada materi Deddy Corbuzier perihal perkembangan teknologi memicu degradasi pengetahuan-pengetahuan yang telah mengakar. Misalnya adalah penggunaan map dan beberapa hal lainnya yang bisa dikatakan telah difasilitasi oleh para pengembang aplikasi. 
Manusia-manusia praktis tidaklah buruk jika dilihat bagaimana masyarakat saat ini memiliki kecenderungan stress yang berbeda dengan era sebelum teknologi. Saya bukanlah orang era dahulu dan tidak terlalu menggembor-gemborkan bagaimana realitas masyarakat hari ini dengan masyarakat sebelum hari ini. Tapi hanya menilik komparasinya saja.
Terkadang saat di warung kopi saya sengaja membicarakan hal-hal yang cukup populer pada hari itu untuk mengimbangi apa yang dibicarakan oleh kebanyakkan orang.
Meskipun sepulang dari warung kopi tiba-tiba saja saya merasa bodoh dan mau saja dibodohi. Hahaha hal itu memang terjadi. Tapi alangkah indahnya saat kita berusaha memafhumi apa yang menjadi keresahan orang lain. Terlebih orang yang mengajak kita ke warung kopi apalagi kopi dan rokok dibuat gratis.
Kita tau bahwa hari ini selama pandemi ini banyak hal yang kita dapatkan secara tidak sadar. Misalnya cara bertahan hidup dan cara untuk saling menjaga. Memang ini salah satu kelucuan yang diberikan Gusti atau bagaimana. Karena jika saya mengingat-ingat kembali apa saja yang telah saya lakukan dalam sehari sering kali membuat perut saya kesakitan karena tertawa tiada hentinya.
Pernah saya tertawa di warung kopi selama beberapa menit karena guyonan yang mungkin bagi sebagian umum menganggapnya receh. Bukan perihal syndrom atau bagaimana. Tapi empirisme itu benar dan nyata adanya. 
Kembali pada yang pertama tadi, jika pembaca adalah orang-orang yang mudah bosan seperti saya. Saya sarankan untuk menyisihkan beberapa waktu dalam seminggu untuk tidak bertemu dengan siapapun. Karena efeknya sangat besar. Saya sering melakukan hal tersebut. Sengaja menghilang tapi bukan untuk dicari. 
Tetapi untuk mendapatkan ketenangan hati dan pikiran agar bagaimana dalam melangkah selanjutnya tidak tersandung pada batu yang sama. Apalagi pada lubang yang sama. Terlebih lagi di tonton dan di tertawakan oleh orang yang sama. Miris. Tapi itulah kelucuan yang diberikan Gusti yang menurut saya terkadang hal itulah yang membuat saya merasa lebih hidup daripada sebelumnya.

Posting Komentar

0 Komentar