Rasa Iba dan Selera Humor Para Pengemban Tugas Mulia di Negara Kita

Lokasi foto pelabuhan penyeberangan Kamal

Saat saya hendak pulang, saya menuju pelabuhan penyeberangan Kamal. Tiba-tiba datang seorang pria membonceng gadis dengan sepeda motor bebek buatan tahun sekitar dibawah 2010-an, stiker sepeda yang sudah mulai pudar. Waktu itu angin berhembus kencang meskipun Madura cuacanya sangat terik seakan menantang ketahanan tubuh ini. 

Pria tersebut turun dari motor dan gadis itu mencium tangan pria itu. Hubungan yang sangat romantis antara seorang anak pada orang tuanya. Wajah pria itu sudah banyak guratan, saya tak tahu apa saja yang telah dilalui pria tersebut tentunya sangat berat dan tidak mengenakkan. Setiap aktivitas sehari-hari kita selalu dikenakan pajak seperti pajak kendaraan, pajak wajib pribadi, PBB dan masih banyak lagi keharusan yang berhubungan dengan materialisme.

Lalu gadis itu kembali seusai mencium tangan pria itu, kualihkan pandanganku pada seorang anak perempuan mungil berusia sekitar enam sampai delapan tahunan. Kusam, bajunya kumal terlihat tidak terurus meminta kesana kemari dengan kaleng rokok di tangan. 


Ah ketimpangan ini membuat belakang kepalaku menjadi berat. Siapa yang disalahkan atas pemandangan seperti ini, mengapa hal-hal yang dibalut dengan terlihat bersih-kotor juga yang terlihat baik-buruk. Ini mengingatkan pada pepatah para leluhur bahwa keadilan, kemenangan atau apapun yang menjadi stratifikasi sosial hanya milik segelintir golongan saja. 

Apa saja, mereka pasti tidak mengharapkan rasa iba yang bersifat in-material dan hidup mereka tidak akan berubah. Termasuk dengan adanya tulisan ini. Kesadaran kita seolah mengharuskan apapun bergantung pada pada hal-hal magis yang materialistik, bukan berarti saya tidak membutuhkan uang untuk keseharian. Karena kebutuhan dan keinginan jelas adalah dua hal yang berbeda. 

Kembali pada rasa iba atau istilahnya adalah rasa simpati. Ada benarnya perkataan seorang sastrawan juga pelaku kesenian Sujiwo Tedjo bahwa rasa kasihan adalah bentuk lain dari kesombongan, karena kita merasa iba dan kasihan menyatakan bahwa kita memiliki kehidupan yang lebih baik daripada orang yang kita kasihani. Tentu rasa kasihan harusnya dihapuskan saja. Kecuali milik Tuhan semata.

Apa yang ada di lingkungan sekitar, seolah mempengaruhi pikiran juga perilaku yang seharus budaya yang demikian sudah terputus sejak berabad-abad lalu. 

Kita hubungkan dengan keadaan Indonesia yang sedang panas-panasnya sekarang. Ini tentang wacana RUU KUHP (Kasih Uang Habis Perkara) juga revisi UU KPK. Bapak presiden tercinta, terhormat juga yang saya cintai Pak Joko Widodo selaku presiden ke enam yang menjalani tugas negara yang mulia dalam periode keduanya. Melantunkan pernyataan sangat cantik dan merdu semerdu suara Adelle penyanyi keren dari Barat (Asing).

Kurang lebih seperti ini "Bahwa dalam periode ini saya tidak lagi memiliki beban apapun, akan melakukan yang terbaik untuk negara ini" Okayy sejak beberapa waktu lalu berita mahasiswa turun ke jalan memenuhi headline media pers konvensional juga online terlebih-lebih timeline media sosial karena wacana RUU KUHP juga RUU KPK. 

Lalu dimana letak perlakuan dalam memaksimalkan kinerja dan memberikan yang terbaik untuk negara ini. Dalam RUU KUHP, media pers mulai dikebiri sangat bertentangan dengan embel-embel negara demokrasi. Permainan menjadi sangat gamblang mulai dari presiden yang anti kritik, pelemahan KPK, dan media pers dikebiri. Beberapa waktu lalu juga beredar berita tentang kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan, mungkin juga bagian dari permainan para elite. Oh iya perspektif pembaca disini bebas, boleh menilai penulis ini skeptis atau Suudzon karena benangnya sangat tipis antara dua frasa tersebut.

Belakangan bapak Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membuat pernyataan lewat Twitter secara tidak langsung menyalahkan Tuhan atas kebakaran tersebut dan meminta warganya untuk tidak mengeluh "Tapi menjalaninya dengan ikhlas dan berdoa.." saya yang tidak merasakan kepulan asap yang merengsek paru-paru saja sudah sangat geram apalagi korban-korban yang merasakan kepulan itu. Ah, bapak Moeldoko sangat humoris ternyata memberikan dukungan moral yang sangat basi. Sekelas Kepala Staf Kepresidenan memberikan pernyataan demikian sangat inspiratif.

Terkait UU KPK, disahkannya. Tentunya tingkat korupsi Indonesia akan menurun drastis bahkan bisa menjadi sepernol koma sekian persen dari tahun-tahun sebelumnya. Dimata dunia Indonesia akan menjadi sorotan dan kinerja bapak presiden tercinta akan diakui. Lah iya bagaimana tidak menurun, sebelum melakukan penyelidikan KPK diharuskan melapor ke DPR terlebih dahulu. Seperti permainan petak umpet anak-anak. Humor macam apa ini. Ah lucu sekali. 

Jika aspek paling penting di negara ini yaitu politik saja masih rancu, ditumpangi segala macam nafsu duniawi tidaklah mungkin kesejahteraan bisa dicapai apalagi merata. Para pejabat di negeri ini memiliki selera humor yang tinggi, tinggi hingga menjadi gunung sampah. Apabila nafsu duniawi sudah merengsek hilang entah kemana dalam dunia perpolitikan tentunya pemandangan di pelabuhan Kamal tadi tidak akan terlihat lagi. Juga di sudut-sudut kota lainnya di seluruh negeri ini.

Posting Komentar

1 Komentar