Beberapa waktu lalu, ada sebuah forum diskusi terbuka yang berjudul “Bongkar, Romantika antara Akademis atau Aktivis”di café Abell. Tujuan diselenggarakan diskusi itu sangat samar dengan mengundang perwakilan dari empat organisasi mahasiswa eksternal (Ormek) juga seorang ketua LPM, dari sana saya sendiri menerka-nerka apa hubungannya sehingga harus mengundang tokoh ketua LPM dalam diskusi tersebut dan mengapa disejajarkan dengan para Ormek.
Ketika ditanya perihal “Rahasia umum” pemaparannya
cenderung diplomatis dan keluar dari konteks pertanyaan. Lalu semakin mengarah
ke penghujung acara pembahasan bergeser menjadi ajang promosi para Ormek dan
keresahan mencari uang untuk membayar kontrakan himpunan, tidak ada hal yang
menarik untuk dibawa pulang dan dijadikan pembelajaran. Mungkin ada yaitu
melepas embel-embel aktivis pada diri ini.
Indikator seorang mahasiswa hari ini dinilai dari seberapa
aktif dia dalam kampus lalu seberapa aktif ia menjadi seorang aktivis--pembela
kepentingan rakyat-- sehingga pemahaman terhadap mahasiswa bergeser ke arah
non-fungsional dan kurang progresif. Padahal berangkat dari rumah menuju
kampus membawa amanat dan pamit untuk menimba ilmu, faktanya sesampainya di
kampus bertemu dengan seseorang yang baru dikenal frekuensinya bertambah
dan menerima "Vitamin" secara berkala lalu lama-kelamaan berubah
menjelma semacam dopamin.
Hal-hal semacam itu menjadi tren secara tidak langsung,
beramai-ramai memadati jalan membawa "Pesan suci" untuk kebaikan
bersama. Mereka dibuat lupa dengan kewajiban yang lebih besar. Sedangkan secara
definisi Mahasiswa adalah sebutan bagi orang yang sedang menempuh pendidikan
tinggi di sebuah perguruang tinggi yang terdiri dari sekolah tinggi, akademi,
dan yang paling umum adalah universitas.
Penyekatan yang dilakukan tersebut tanpa sadar mempengaruhi
perilaku para mahasiswa. Hal ini perlu di ketahui oleh jemaat tercintaa,
bahwasanya untuk menjadi mahasiswa tidak perlu terjebak oleh
penyekatan-penyekatan semacam itu. Menata kembali pondasi pikiran sehingga
dalam meraih tujuan tidak perlu dilakukan hal-hal tidak etis yang dibungkus
seolah-olah etis.
Dua puluh empat jam diberikan dalam sehari, untuk pergi ke
kampus mengikuti mata kuliah dalam sehari hanya kisaran tiga jam saja. Masih
tersisa dua puluh satu jam, kalau sesuai “Pedagang dunia”—WHO— itu sekitar
delapan jam sehari.
Menjadi terdapat tiga belas jam, penggunaaan waktu ini
sangat krusial jika dilihat dalam empat tahun mendatang dan juga seharusnya
dijadikan tugas bersama mau digunakan untuk apa tiga belas jam waktu krusial
tersebut agar kelak saat kembali ke kota asal tidak sekedar membawa Ijazah
untuk dipajang di ruang tamu dengan tujuan eksistensi fana semata tetapi ilmu
yang benar-benar bermanfaat tidak untuk diri sendiri saja.
0 Komentar