Partisipasi Dalam Ruang Kosong

Kiranya hal itulah yang belakangan ini membuat pikiran saya cukup kacau. Bahkan hal itu tidak saya sadari sama sekali. Barulah setelah perjumpaan saya dengan salah seorang kawan lama saya melihat anomali dalam perilaku saya. Bukti bahwa Gusti Maha Romantis memang benar adanya, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa saya bukanlah hamba yang taat beragama maupun aktif dalam kegiatan-kegiatan seperti itu.
Nyatanya banyak jalan menuju roma. Sadar atau tidak selama pandemi ini kita dihadapkan pada hal-hal yang nyaris sama sekali absurd. Mulai dari tukang parkir yang tidak sembunyi-sembuyi hingga perilaku para pengunjung dan pembeli di pasar.

Ini rancu memang. Tapi partisipasi publik dalam ruang kosong untungnya masih ada. Baiknya harus seperti itu. Untuk apa bangsa ini tiap tahun harus merayakan upacara tahunan yang memakan banyak anggaran negara jika elemen dasar seperti demokrasi tidak bisa berjalan dengan sebagai mana mestinya.


Baca: Absurditas: Dosen Bercinta dengan Mahasiswi


Tulisan ini tidak memiliki tendensi apapun. Sekali lagi, pada pemilu apapun saya akan golput. Bukan perilaku yang baik, bagi orang yang menggembor-gemborkan demokrasi namun tidak ikut andil dalam rangkaian penyelenggaraannya. Kita harus merayakan hal ini. Misalnya uang 75 ribu dengan cetakan khusus bisa dapat apa. Tentu banyak sekali kawan. Handsanitaser, masker, dan uang parkir. Tidak nyambung?

Begini saya jelaskan mulai dari hal yang bertele-tele saja. Apa pencapaian terbesar bangsa ini selain kemerdekaan? Teknologi? Sistem birokrasi? atau harga apem yang puluhan juta itu? Syahdan, pengkerdilan terjadi pada berbagai sektor. Ini sebenarnya krusial. Nyatanya tidak banyak masyarakat yang memahami hal tersebut.

Di warung kopi kita sama saja. Anda memesan sesuatu, saya pun demikian. Setelah kepergian anak sulung dari Iwan Fals, beliau tidak aktif dalam dunia musik selama 5 tahun. Lalu beliau kembali dengan irama dan warna musik yang sama sekali baru.

Coba lihat kembali tahun rilisan lagunya. Pada dasarnya, kita memang tidak bisa terus menerus menuntut diri sendiri untuk berpikir dengan landasan popularisme kontemporer. Kecenderungan tersebut tentu dapat bergeser dengan mudahnya. Ini lucu, kalian harus suka membaca koran.

Tapi apakah memang benar kita berada pada titik, bahwa demokrasi saat ini adalah partisipasi dalam ruang kosong? dan ini merupakan pertanda baik? Untuk saat ini memang hal tersebut adalah satu hal yang lebih banyak baiknya.

Semisal vaksin telah ditemukan, kita tidak dapat lepas begitu saja dengan protokol kesehatan. Pada masa transisi inilah kita baiknya perlu berpikir kembali. Bagaimana dan apa saja yang mungkin saja akan menjadi krusialisme omong kosong yang terlupakan.


Baca: Kelilipan Sandal Pak Kyai

Posting Komentar

0 Komentar